Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi

Hingga sekarang sudah banyak beberapa kajian dalam hal intelegensi atau tingkat IQ seseorang. Menurut Kohstan, intelegensi dapat dikembangkan, namun hanya sebatas segi kualitasnya, yaitu pengembangan akan terjadi sampai pola pada batas kemampuan saja, terbatas pada segi peningkatan mutu intelegensi, dan cara cara berpikir secara metodis.
Intelegensi orang satu dengan yang lain cenderng berbeda-beda. Hal ini karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor yang mempengaruhi intelegensi antara lain sebagai berikut:
Faktor Bawaan
Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di dalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar. Dan pintar sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas
Dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar,sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
Faktor Pembentukan
Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di sini dapat dibedakan antara pembentukan yang direncanakan, seperti dilakukan di sekolah atau pembentukan yang tidak direncanakan, misalnya pengaruh alam sekitarnya.
Faktor Kematangan
Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik mauapun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
Oleh karena itu, tidak diherankan bila anak anak belum mampu mengerjakan atau memecahkan soal soal matematika di kelas empat sekolah dasar, karena soal soal itu masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan faktor umur.
Faktor Kebebasan
Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelima faktor diatas saling mempengaruhi dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman atau berpatokan kepada salah satu faktor saja.

Kecerdasan Emosional

Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.
Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang. Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.
Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu:
• empati (memahami orang lain secara mendalam)
• mengungkapkan dan memahami perasaan
• mengendalikan amarah
• kemandirian
• kemampuan menyesuaikan diri
• disukai
• kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
• kesetiakawanan
• keramahan
• sikap hormat
Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :
• membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
• bekerja dalam kelompok secara harmonis
• berbicara dan mendengarkan secara efektif
• mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada (sportif)
• mengatasi masalah dengan teman yang nakal
• berempati pada sesama
• memecahkan masalah
• mengatasi konflik
• membangkitkan rasa humor
• memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
• menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
• menjalin keakraban
Jika seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru.

Inteligensi dan IQ

Inteligensi dan IQ

Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
Faktor lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Inteligensi dan IQ
Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Pengukuran Inteligensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.
Inteligensi dan Bakat
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.
Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.

Mengenal Persepsi, Ilusi, dan Halusinasi

Kita tentu sering sekali mendengar istilah persepsi, ilusi, maupun halusinasi. Pada ilmu kejiwaan, kata-kata tersebut sangat akrab bagi mereka yang berkecimpung di dalamnya. Tapi apa sebenarnya persepsi, ilusi, dan halusinasi ditinjau dari sisi kejiwaan ?
Persepsi adalah hasil interaksi antara dua faktor, yaitu faktor rangsangan sensorik yang tertuju kepada individu atau seseorang dan faktor pengaruh yang mengatur atau mengolah rangsangan itu secara intra-psikis. faktor-faktor pengaruh itu dapat bersifat biologis, sosial, dan psikologis. Karena adanya proses pengaruh-mempengaruhi antara kedua faktor tadi, di mana di dalamnya bergabung pula proses asosiasi, maka terjadilah suatu hasil interaksi tertentu yang bersifat "gambaran psikis".
Ilusi adalah suatu persepsi panca indera yang disebabkan adanya rangsangan panca indera yang ditafsirkan secara salah. Dengan kata lain, ilusi adalah interpretasi yang salah dari suatu rangsangan pada panca indera. Sebagai contoh, seorang penderita dengan perasaan yang bersalah, dapat meng-interpretasikan suara gemerisik daun-daun sebagai suara yang mendekatinya. Ilusi sering terjadi pada saat terjadinya ketakutan yang luar biasa pada penderita atau karena intoksikasi, baik yang disebabkan oleh racun, infeksi, maupun pemakaian narkotika dan zat adiktif.
Ilusi terjadi dalam bermacam-macam bentuk, yaitu ilusi visual (penglihatan), akustik (pendengaran), olfaktorik (pembauan), gustatorik (pengecapan), dan ilusi taktil (perabaan).
Halusinasi adalah persepsi panca indera yang terjadi tanpa adanya rangsangan pada reseptor-reseptor panca indera. Dengan kata lain, halusinasi adalah persepsi tanpa obyek.
Halusinasi merupakan suatu gejala penyakit kejiwaan yang gawat (serius). Individu mendengar suara tanpa adanya rangsangan akustik. Individu melihat sesuatu tanpa adanya rangsangan visual, membau sesuatu tanpa adanya rangsangan dari indera penciuman.
Halusinasi sering dijumpai pada penderita Schizophrenia dan pencandu narkoba. Halusinasi juga dapat terjadi pada orang normal, yaitu halusinasi yang terjadi pada saat pergantian antara waktu tidur dan waktu bangun. Hal ini disebut halusinasi hypnagogik.
Bermacam-macan bentuk halusinasi
Halusinasi akustik (pendengaran)
Halusinasi ini sering berbentuk :
• Akoasma, yaitu suara-suara yang kacau balau yang tidak dapat dibedakan secara tegas
• Phonema, yaitu suara-suara yang berbentuk suara jelas seperti yang berasal dari manusia, sehingga penderita mendengar kata-kata atau kalimat kalimat tertentu
Halusinasi visual (penglihatan)
Penderita melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi visual sering menimbulkan ketakutan yang hebat pada penderita.
Halusinasi olfaktorik (pembauan)
Penderita membau sesuatu yang tidak dia sukai. Halusinasi ini merupakan gambaran dari perasaan bersalah penderitanya.
Halusinasi gustatorik (pengecap)
Halusinasi gustatorik murni jarang dijumpai, tetapi sering terjadi bersama-sama dengan halusinasi olfaktorik.
Halusinasi taktil (perabaan)
Halusinasi ini sering dijumpai pada pencandu narkotika dan obat terlarang.
Halusinasi haptik
Halusinasi ini merupakan suatu persepsi, di mana seolah-olah tubuh penderita bersentuhan secara fisik dengan manusia lain atau benda lain. Seringkali halusinasi haptik ini bercorak seksual, dan sangat sering dijumpai pada pencandu narkoba.
Halusinasi kinestetik
Penderita merasa bahwa anggota tubuhnya terlepas dari tubuhnya, mengalami perubahan bentuk, dan bergerak sendiri. Hal ini sering terjadi pada penderita Schizophrenia dan pencandu narkoba.
Halusinasi autoskopi
Penderita seolah-olah melihat dirinya sendiri berdiri di hadapannya.
Penderita Schizophrenia sangat perlu dikasihani karena penderitaan yang dialaminya. Tetapi mengapa banyak orang memilih untuk mengubah hidupnya yang indah dan berharga dengan memakai narkoba dan mengalami berbagai macam gangguan kejiwaan yang serius ? Tak seorangpun yang tahu ...

seni di tangan anak down syndrome

eni memang dikenal sebagai bahasa universal. Buktinya, anak-anak penderita down syndrome atau memiliki keterlambatan mental dan fisik ternyata juga mampu berekspresi lewat melukis, menari, bahkan bermain musik.

Inilah salah satu aksi tari kecak dari sejumlah anak yang mempunyai kelainan genetika down syndrome. Dengan lemah gemulai mereka membawakan tari kecak layaknya penarik kecak asal Bali.

Sedikitnya 300 anak penyandang kelainan genetika down syndrome ambil bagian dalam acara yang diprakarsai oleh Ikatan Syndrome Down Indonesia (ISDI).
Tidak hanya pandai menari dan menyanyi, sejumlah anak down syndrome ini juga menampilkan hasil karya seni lain seperti seni lukis. Mereka juga bisa membawakan sejumlah alat musik seperti piano dan anglung.

MENINGKATKAN DAILY LIVING SKILL PADA ANAK DOWN SYNDROME DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK MODELLING

Down Syndrome atau sindrom down merupakan kelainan kromosom, yaitu terbentuknya kromosom 21 (trisomy 21) akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan Anak down syndrome biasanya kurang bisa mengkoordinasikan antara motorik kasar dan halus. Seperti misalnya kesulitan menggenakan pakaian berkancing dan memasang sepatu bertali sendiri. Anak down syndrome dan anak normal pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dalam tugas perkembangan, yaitu mencapai kemandirian. Namun, perkembangan anak down syndrome lebih lambat dari pada anak normal. Jadi diperlukan suatu terapi untuk meningkatkan kemandirian anak down syndrome. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melatih motorik halusnya melalui behavior therapy dengan teknik modelling. Teknik modelling adalah satu teknik yang menunjukkan terjadinya proses belajar melalui pengamatan dari orang lain dan perubahan yang terjadi karena adanya peniruan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan daily living skill pada anak down syndrome dengan menggunakan teknik modelling.

Subyek pada penelitian ini terdiri atas 2 anak. Subyek pertama (S) adalah seorang anak laki-laki berusia 11 tahun dan subyek kedua (T) adalah seorang anak perempuan berusia 10 tahun dan bersuku jawa. Kedua subyek tersebut dilaporkan oleh orangtua dan guru mereka. Orangtua S mengeluhkan bahwa S masih belum bisa menulis, dan mandiri, seperti mengenakan pakaian yang berkancing, menali sepatunya sendiri, dan menggosok gigi. Sedangkan keluhan dari pihak guru, S masih belum bisa memegang pensil dengan benar. Sedangkan orangtua T mengeluhkan bahwa T belum bisa menggosok gigi dan menyisir rambutnya sendiri Hasil asesment memperlihatkan bahwa mereka memiliki ciri_c,iri down syndrome, mempunyai kemampuan kognitif yang tergolong retardasi mental sedang, kesulitan mengkoordinasikan gerakan mata dan tangan, serta kemampuan daily living skill tergolong rendah. Selain karena keterbatasan subyek, rendahnya daily living skill subyek dikarenakan pola asuh orangtua yang selalu memanjakan dan melayani semua kebutuhan subyek.

Hasil intervensi memperlihatkan bahwa teknik modelling dapat meningkatkan daily living skill pada kedua subyek. Terapi perilaku dengan teknik modelling memberikan perubahan pada kedua subyek secara positif meskipun belum optimal. Teknik modelling tidak dapat menyelesaikan permasalahan subyek secara utuh yang berhubungan dengan kondisi emosi subyek dan pola asuh orangtua. Untuk menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh dapat dilakukan dengan memberikan intervensi lanjutan. Terus mengajari anak dengan memberikan contoh dalam melakukan aktifitas sehari-hari dapat membantu meningkatkan daily living skill mereka.

Terapi pada anak down syndrome

emampuan motorik halus seringkali tertinggal di belakang kemampuan motorik kasar. Anak-anak diajarkan keterampilan praktis. Keterampilan yang diajarkan disesuaikan dengan keinginan dan tingkat kemudahan aktivitas menurut anak. Keterampilan individual ini seringkali lebih cepat dipelajari karena anak sangat termotivasi.

Intervensi tidak difokuskan terlalu banyak pada penyusunan puzzle dan balok namun dikonsentrasikan pada keterampilan untuk menolong diri sendiri seperti berpakaian, latihan buang air, serta berbagi dengan anak-anak lain. Latihan motorik halus membantu penderita SD meningkatkan keterampilan koordinasi mata dan tangan serta sejumlah keterampilan akademik dini.

Penderita SD mempunyai kesulitan bicara. Terapi wicara mengajarkan anak-anak SD bagaimana cara berkomunikasi. Dinilai pemahaman, penggunaan bahasa, perkataan reseptif dan perkataan ekspresif, serta kejelasan bicara. Juga membantu anak-anak yang mempunyai kesulitan makan. Sejak berusia 1 tahun, dapat dimulai pengajaran untuk menjaga agar lidahnya tetap di dalam mulut dengan komunikasi verbal atau pun dengan sentuhan. Setelah itu berilah pujian. Dengan cara-cara ini, biasanya anak sudah berhenti memcucurkan air liur pada waktu mereka berusia 4 tahun. Diperhatikan kemampuan kognitif dini seperti mencocokkan dan memilah bentuk dan warna. Keterampilan akademik dini pada akhirnya mendasari keterampilan membaca, menulis, dan mengerjakan bilangan. Juga dilatih untuk dapat mengerjakan keterampilan yang membutuhkan konsentrasi dan menanamkan kebiasaan bekerja pada anak-anak sejak usia dini. Karena kemampuan anak-anak SD sangat bervariasi, keberhasilan di sekolah akan sangat bervariasi juga, sehingga evaluasi yang dilakukan pada anak-anak SD harus dilakukan secara individual.

Deteksi dan pengobatan secara dini penting dilakukan segera setelah lahir karena kekurangan hormon ti-roid pada masa pertumbuhan otak (0-2 tahun) dapat mengakibatkan gangguan intelektual yang menetap.

Perbedaan autisme dengan aspeger

Akhir-akhir ini semakin banyak yang berpendapat bahwa Asperger tidak sama dengan Autis, padahal dalam standar diagnosa DSM IV, Asperger adalah merupakan salah satu spektrum Autis.

Selain ada perbedaan di antara keduanya, sebenarnya ada beberapa ciri dari asperger dan autis klasik yang sama, masing-masing punya ciri-ciri dalam hal ketidakmampuan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka juga sama-sama menunjukkan beberapa perilaku unik/rutinitas, walaupun dalam degree yang berbeda (varying degree), bisa dari mild, moderate, to severe.

Tidak seperti anak autis yang bisa didiagnosa di bawah umur 2 - 3 tahun, anak asperger baru bisa terdekteksi, biasanya pada saat berumur di antara 6-11 tahun.

Tidak seperti kebanyakan anak autis, anak asperger memang tidak menunjukkan keterlambatan bicara, punya kosa kata yang sangat baik, walaupun agak sulit untuk mengerti bahasa "humor dan ironi". Mereka pun kebanyakan mempunyai intelligence yang cukup baik bahkan di atas rata-rata.
Oleh karena itu biasanya secara akademik, biasanya mereka tidak bermasalah, dan mampu mengikuti pelajaran di sekolah umum dengan baik.

Sedangkan penyandang autis klasik, sebagian besar terdiagnosa mempunyai IQ dibawah normal bahkan masuk kategori moderate mental retardasi.

Tantangan terbesar bagi penyandang asperger adalah dalam hal bersosialisasi dan berinter-aksi.
Pada umumnya, anak asperger suka untuk berteman, walaupun dengan gaya bahasa dan mimik yang formal dan terlihat "aneh". Mereka sulit memulai percakapan dan sulit mengerti makna dari interaksi sosial.

Kesulitan anak asperger dalam bersosialisasi dapat/akan membuat mereka menjadi sangat stress di sekolah. Banyak kendala akan ditemukan pada saat anak asperger memasuki masa remaja /akil-balik (SMP/SMU).

Untuk menghadapi masalah itu, orang tua disarankan untuk segera mencari ahli yang profesional (care dan knowledgable) dan melakukan intervensi yang diperlukan se-segera mungkin dengan berterus terang kepada guru (pendidik) dan kepala sekolah dengan melihatkan atau membawa referensi dari ahli tsb.

Tanpa pemberitahuan dari orang tua, pihak sekolah dan teman-teman anak asperger sulit untuk mengetahui bahwa mereka "berbeda" karena anak asperger tidak mudah dikenali seperti halnya anak autis klasik. Hal inilah biasanya yang dapat menjadi pemicu berbagai masalah serius pada anak asperger.

Walaupun sebagian orang menganggap bahwa asperger adalah mild autis (autis ringan), treatment dan intervensi tetap harus dilakukan. Sebagian besar program2 terapi untuk anak asperger biasanya bersifat direct teaching / langsung di dibuat untuk memperbaiki skill yang mereka belum kuasai misalnya di-bidang sosialisasi, mengerjakan/menyelesaikan pekerjaan sekolah dan cara membagi waktu (time management). Anak asperger juga akan sangat terbantu jika banyak dilibatkan dalam kegiatan sosial seperti belajar dalam kelompok kecil (support group), sport club, dimana mereka dapat berlatih, share experience mereka dan saling belajar dari teman mereka. Ada juga satu terapi yang cukup baik untuk anak asperger yaitu terapi RDI (Relationship Development Intervention) didevelop oleh Dr. Steven Gutstein.

autisme aspeger

Autisme kelompok Asperger sering juga disebut sebagai Asperger Syndrome, asal kata dari nama Dr Hans Asperger, seorang dokter anak dari Austria. Dr Hans Asperger mengemukakan tentang gejala anak-anak autisme kelompok ini di tahun 1944. Karena artikelnya dalam bahasa Jerman, barulah pada tahun 1981 dikenal secara internasional setelah Lorna Wing dari Inggris membawanya dalam kongres Autisme dengan bahasa Inggris. Hans Asperger menggambarkan pasien-pasiennya itu adalah anak-anak dengan usia 6 – 12 tahun, tidak mengalami keterlambatan bicara, sangat pandai, tetapi sangat sulit mengikuti pelajaran, dan sangat eksentrik. Hans Asperger menyebut kelompok anak-anak ini dengan nama autistic psychopatic. Tetapi sebutan ini oleh Lorna Wing diganti dengan nama Asperger Syndrome, karena ada kelompok lain yang dikemukakan oleh Kanner dari Amerika di tahun 1943 yang disebut sebagai infantil autism atau autisme masa kanak. Autisme kelompok Dr Kanner ini diketahui 80 persennya mengalami gangguan perkembangan inteligensi yang parah. Sisanya mempunyai inteligensi yang normal namun mengalami gangguan di beberapa area inteligensi yaitu mengalami keterbatasan dalam kemampuan analisa, sintesa, kemampuan abstraksi, dan pemecahan masalah.


Autisme adalah gangguan perkembangan majemuk, yaitu gangguannya dapat mengenai beragam aspek perkembangan seorang anak. Gangguannya tidak hanya menyangkut jumlah berapa aspek yang terkena (secara kuantitatif) tetapi juga beratnya aspek yang terkena (kualitatif). Karena itu gangguan autisme dari satu anak ke anak lain mempunyai gambaran yang beragam. Aspek perkembangan yang terganggu itu adalah gangguan komunikasi (verbal dan non-verbal), interaksi sosial, dan gangguan perilaku (perilakunya repetitif dan stereotipik atau diulang-ulang dengan pola yang sama). Karena begitu beragamnya dan gejalanya berubah bersamaan dengan berjalannya usia, orang menjadi sering kesulitan membaginya secara tegas dalam kelompoknya masing-masing, kemudian orang menyebut semua kelompok autisme itu dengan nama Autism Spectrum Disorder (ASD).


Pada kelompok masa kanak dari Dr Kanner, adalah anak-anak autisme yang mengalami keterlambatan bicara, sebagian besarnya mengalami gangguan inteligensi yang parah, sedang sisanya mempunyai inteligensi yang baik dan dapat berfungsi relatif lebih baik daripada yang mempunyai inteligensi yang parah. Karena itu kelompok yang mempunyai fungsi lebih baik ini disebut sebagai kelompok autisme yang berfungsi tinggi. Sedang dari kelompok itu juga ada anak-anak autisme yang jika dilihat melalui kriteria autisme dari DSM IV, ia tidak memenuhi seluruh kriteria yang tersedia, namun mempunyai batas minimal sejumlah kriteria[1] (lihat buku Gangguan Majemuk Autisme PDDNOS, dari Dir. PSLB). Kelompok ini disebut autisme tidak khas atau tidak spesifik yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai PDD-NOS (Pevasive Development – Not Otherwised Specified). Sedang yang memenuhi kriteria autisme tadi disebut sebagai kelompok autisme klasik.


Kelompok autisme Asperger sendiri dalam DSM IV dikelompokkan tersendiri di bawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) bersama kelompok yang lain yaitu: Autistic disorder, Asperger’s Disorder, PDD-NOS, Rett’s Disorder, dan Child Integrative Disorder. Ketiga pertama tadi (Autistic Disorder, Asperger’s Disorder, dan PDD-NOS) dijadikan sebuah spectrum bernama Autistic Spectrum Disorder.


Jadi jika kita mendapatkan anak kita dengan diagnosa ASD, artinya kita tidak tahu kelompok anak kita adalah kelompok anak yang mana. Karena ASD merupakan spectrum yang panjang dengan gejala autistik dari yang ringan hingga yang parah. Dengan gangguan yang paling sedikit (dalam batasan diagnosa autisme) pada aspek perkembangannya hingga yang paling banyak. Dari yang mempunyai gangguan perkembangan kognitif yang ringan hingga yang parah.
Sekalipun ada yang mengatakan bahwa kelompok PDD-NOS ataupun Asperger Syndrome adalah kelompok yang mempunyai gangguan yang ringan (bila dibandingkan dengan anggota kelompok PDD lainnya), tetap anak-anak ini mempunyai gangguan perkembangan yang terbilang parah jika dibandingkan dengan kelompok anak normal. Karena ia menyangkut banyak aspek perkembangan yang sifatnya menetap seumur hidup. Karena itu dikatakan bahwa gangguan autisme mempunyai prognosa atau perkiraan ke depan yang kurang menguntungkan dan memerlukan pendampingan terus menerus. Walaupun begitu kelompok Asperger dan PDD-NOS mempunyai prognosa yang lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok autisme klasik.


Asperger syndrome sendiri, merupakan salah satu kelompok yang dalam DSM IV dinyatakan sebagai kelompok yang tidak mengalami keterlambatan bicara, dan mempunyai inteligensi yang baik, normal hingga tinggi. Peter Vemuelen (2002) seorang ahli pendidikan anak berkekhususan dari Belgia dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada umumnya anak-anak autisme yang mempunyai inteligensi tinggi ini terdeteksi lebih terlambat bila dibandingkan dengan kelompok anak autisme klasik maupun PDD-NOS. Hal ini disebabkan karena kelompok Asperger Syndrome tidak mengalami keterlambatan bicara. Bahkan saat ia masih kecil seringkali disangka ia seorang anak cerdas istimewa karena sangat mudah menerima instruksi dan pandai. Namun dalam perjalanan sekolahnya saat sudah masuk ke sekolah dasar ia mengalami kesulitan karena keterbatasannya dalam kemampuan kreativitas, imajianasi dan fantasi, abstraksi, serta kemampuan pemecahan masalah.


Kelompok Asperger memang mempunyai keluarbiasaan tersendiri, banyak diantaranya yang mampu sampai jenjang universitas, bahkan menjadi doktor. Namun mempunyai bidang minatan yang sempit, dan sifatnya hanya mengkopi, menerima ilmu, menyimpannya, dan menampilkannya kembali. Jika mengamati hasil tes inteligensianya, akan nampak bahwa ia akan mendapatkan skor pada subtes informasi dalam verbal IQ yang sangat tinggi, tetapi kurang dalam kemampuan analisis.


Webb dkk (2005) menjelaskan bahwa pada dasarnya penyandang Asperger yang mempunyai kemampuan dan inteligensi yang tinggi mempunyai kesamaan dengan kelompok cerdas istimewa (gifted children), yaitu :
- Kedua kelompok (Asperger dan cerdas istimewa) sama-sama mempunyai memori luar biasa dan kemampuan bicara yang baik;
- mereka juga sama-sama selalu menanyakan sesuatu secara terus menerus;
- mereka membicarakan suatu bidang yang intelektual, dan sejak kecil mereka sudah mulai melakukannya;
- mereka sangat cepat menerima sesuatu yang diminatinya, selalu mencari tentang fakta-fakta dan pengetahuan tentang apa yang menjadi minatnya itu, sekalipun demikian seorang penyandang Asperger tidak membuat hubungan dengan makna yang ada dalam fakta dan pengetahuan itu;
- kedua kelompok sangat menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, sekalipun pada Asperger hal itu lebih kepada hal yang menurutnya logik daripada sesuatu yang menyangkut pada masalah yang emosional;
- kedua kelompok baik kelompok Asperger maupun kelompok cerdas istimewa mempunyai masalah konsentrasi karena mereka hanya ingin terfokus pada apa yang memang mereka ingin fokuskan sehingga diluar itu mereka mengalami kesulitan berkonsentrasi;
- kedua kelompok sama-sama mempunyai rasa humor yang datar/halus, mudah terangsang dengan stimulus (misalnya suara), tekstur, cahaya, bau-bauan, dan rasa;
- kedua kelompok sering dipandang oleh orang lain sebagai anak yang sangat halus, rentan, sensitif, dan berbeda;
- keduanya mempunyai pola perkembangan yang asinkroni (pada kelompok Asperger kondisi asinkroninya akan sangat ekstrim nampak pada perilakunya yang lebih aneh dan lebih bagai potongan puzzle yang tidak tahu dimana tempat yang pas baginya) ;
- keduanya mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan model pendidikan konvensional;
- keduanya mempunyai masalah pada ketrampilan sosial, merasa tidak nyaman di tengah orang banyak;
- keduanya mempunyai kepribadian yang menarik diri.


Sekalipun ada persamaannya namun juga ada perbedaannya. Jika kita mencari-cari persamaannya kita akan menemukan persamaannya yang luar biasa banyak. Namun agar kita tepat memberikan pendidikannya, pengasuhan, dan intervensinya, perlu dilihat apa saja perbedaannya. Dalam hal ini Webb dkk (2005) juga memberikan acuannya.
Sebetulnya memang akan sangat sulit melihat perbedaan antara keduanya, sebab persamaannya memang banyak. Apalagi baik anak cerdas istimewa maupun anak Aspeger seringkali juga diikuti dengan gejala-gejala gangguan lainnya, seperti ADHD dan OCD (Obsessive Compulsive Disorder), yang menyebabkan penegakan diagnosa menjadi semakin sulit. Sekalipun demikian, kita tetap perlu mengingat bahwa perkembangan seorang anak cerdas istimewa yang secara alamiah memang mengalami perkembangan yang tidak sinkron, dapat menyebabkan pola perilaku yang sering dipandang aneh, tidak sebagaimana anak normal. Namun pola perkembangan yang aneh ini pada anak-anak cerdas istimewa akan mengalami normalisasi perkembangan saat menjelang pubertas. Sementara itu pada kelompok Asperger akan mengalami gangguan yang kronis, terus menerus dan akan dibawanya hingga dewasa dan tua.


Dalam hal ini sangat penting artinya untuk meletakkan diagnosa yang tepat, sebab jika seorang penyandang Asperger hanya dianggap sebagai anak cerdas istimewa yang aneh dan terlalu sensitif, maka ia artinya tidak akan mendapatkan terapi yang tepat bagi masalah gangguan autismenya. Sebaliknya, jika seorang anak cerdas istimewa mendapatkan diagnosa Asperger, maka ia akan mendapatkan salah penempatan dalam pendidikannya, disamping juga mendapatkan berbagai terapi autisme yang sebetulnya tidak dibutuhkannya.

Nasihat Webb dkk (2005) ada dua kunci yang terpenting bagaimana agar kita dapat membedakan antara Asperger dan cerdas istimewa:

1. Amati dan lakukan pemeriksaan dengan teliti pada perilaku anak saat mana ia melakukan berbagi ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada teman-teman sebayanya.
Pada anak Asperger akan menunjukkan perilaku dimana ia mengalami kesulitan membangun kontak sosial dengan cara menarik perhatian teman sebayanya agar mendengarkan dan tertarik pada objek cerita yang disampaikannya. Cara penyampaiannya dengan cara yang kenakakan (terasa kurang matang), serta monoton. Ia akan bercerita terus tanpa memperhatikan apakah orang lain sudah bosan. Objek yang dibicarakannya juga seringkali tidak pada hal-hal yang bersifat sosial, misalnya tentang bermacam-macam mesin cuci, tentang planet, atau dinosaurus. Sebaliknya pada anak cerdas istimewa walau kadang membosankan namun ia juga mempunyai minat pada masalah budaya ataupun masalah kemanusiaan dan politik. Ia juga mencoba agar orang lain tertarik dengan apa yang dibicarakannya. Ia mengajak orang lain untuk memahami apa yang dipikirkannya. Pada kelompok Asperger tidak, karena ia sendiri karena keterbatasannya pada kemampuan berbahasa simbolik maka ia kesulitan membaca pikiran orang lain, sehingga ia juga mengalami kesulitan bagaimana agar orang lain tertarik pada apa yang menjadi pikirannya. Ia akan berbicara terus menerus tanpa menghiraukan apakah orang lain bosan apa tidak.
2. Amati dan periksa baik-baik pada waktu berbagi ilmu pengetahuan itu, apakah anak mempunyai intuisi untuk melihat orang lain dan juga apakah orang lain melihat pada dirinya.
Seorang anak cerdas istimewa pada dasarnya mempunyai intuisi yang tajam terhadap situsai sosial dan selalu ingin tahu apakah orang lain melihat dirinya atau tidak; sedang pada anak dengan Asperger Syndrome tidak mempunyai intuisi seperti ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa seorang anak cerdas istimewa selalu sadar bahwa dirinya berada di tengah orang banyak dan sering justru mengalami stress jika ia tidak mampu menyesuaikan diri di tengah orang banyak. Ia sangat sensitif terhadap bagaimana pandangan orang lain. Anak cerdas istimewa bila mendapatkan teman yang seichwan, ia dapat berkomunikasi dengan baik dan akan terjadi komunikasi timbal balik yang bisa berisi muatan nuansa empathi dan emosi.

Kenyataan di lapangan juga sering terjadi bahwa anak-anak cerdas istimewa yang mempunyai kepribadian menarik diri, seringkali menerima diagnosa sebagai penyandang autisme Asperger. Bukan berarti bahwa jika didapati seorang anak yang menarik diri dan mengalami kesulitan bersosialisasi artinya ia adalah penyandang autisme. Sebab gangguan bersosialisasi dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Pada autisme gangguan bersosialisasi pada dasarnya disebabkan karena adanya gangguan atau keterbatasan pada emosi sosial dan keterbatasan kemampuan memahami bahasa mimik.

Dalam pendidikan, kesulitan anak autisme Asperger lebih disebabkan karena keterbatasannya dalam kemampuan kreativitas, kemampuan berpikir analisa dan pemecahan masalah, hal-hal yang abstrak, serta kemampuan berfantasi dan imajinasi. Hal itu jugalah yang menyebabkan keterbatasan pada pengembangan bidang minatannya. Dengan kata lain, bidang minatannya sangat sempit. Dalam situasi sosial ia juga sangat kesulitan dalam situasi yang tak terstruktur seperti misalnya di lapangan bermain saat keluar main, di mana di lapangan segala hal dapat saja terjadi tanpa diduga.

Apabila kita mendapatkan anak kita mempunyai gejala-gejala yang tidak cocok sebaliknya sebagiannya juga cocok dengan baik gejala anak cerdas istimewa, dan juga penyandang Asperger, maka hal ini perlu diadakan pengamatan yang dalam, secara multidisiplin dalam berbagai bidang keilmuan terutama neurologi, psikatri psikologi, dan oryhopedagogi. Diharapkan semua profesi juga memahami masalah baik pada anak cerdas istimewa maupun pada anak autisme. Dalam hal ini bila mendapatkan anak dengan diagnosa Asperger dan kita ragu-ragu akan diagnosa tersebut, Web dkk (2005) juga memberikan beberapa beberapa butir dalam daftar di bawah ini (gejala di bawah ini adalah gejala untuk seorang anak cerdas istimewa):
- Menunjukkan adanya kemampuan hubungan interpersonal pada saat ia berbagi bidang minatnya.
- Mempunyai pengetahuan yang sangat dalam dan intensif dalam bidang yang diminatinya, tetapi tanpa perilaku yang berkaitan dengan Asperger.
- Akan sangat tertarik pada ide-ide yang abstrak, dalam situasi tak terstruktur, dan mampu membangun ide-ide yang inovatif.
- Mempunyai gerakan-gerakan yang atipikal namun dalam kontrol dan kesadaran
[2].
- Mempunyai gerakan yang aneh yang lebih disebabkan karena stress atau pelepasan enerji.
- Tidak mempunyai gangguan motorik.
- Mempunyai intuisi untuk membangun kontak emosi dengan orang lain dan kontak interpersonal dengan orang lain.
- Mempunyai emosi yang sesuai dengan topik pembicaraan.
- Dapat menunjukkan empathi dan simpathi dalam berbagai situasi.
- Gaya bicara dan humornya seringkali lebih mirip orang dewasa.
- Memahami humor dan menggunakan humor dalam situasi sosial secara timbal balik, bukan hanya humor sepihak saja, bermain kata, dan searah.
- Mempunyai kesadaran akan dirinya, dan sangat memahami apa akibat dari perilakunya terhadap orang lain bagi dirinya sendiri.
- Sadar bila diamati orang lain, dan tahu bagaimana perilaku akan memberikan efek -- Dapat mentoleransi bila tiba-tiba ada perubahan, atau bersikap pasif terhadap perubahan itu.
- Bisa memahami makna bahasa kiasan.
- Mengalami kesulitan perhatian bila suatu ide datang dari orang lain, daripada bila datangnya dari pikirannya sendiri.

Gangguan autisme pada anak

autis merupakan kelainan perilaku dimana penderita hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri (seperti melamun atau berkhayal). Gejala ini umumnya mulai terlihat ketika anak berumur tiga tahun.
Menurut buku Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders-Fourth Edition (DSM-IV), gangguan autis dapat ditandai dengan tiga gejala utama, yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan gangguan perilaku. Gangguan perilaku dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata, serta kesulitan dalam bahasa.?
Gangguan autis pada anak-anak memperlihatkan ketidakmampuan anak tersebut untuk berhubungan dengan orang lain atau bersikap acuh terhadap orang lain yang mencoba berkomunikasi dengannya. Mereka seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri, bermain sendiri, dan tidak mau berkumpul dengan orang lain. Namun, anak autis biasanya memiliki kelebihan atau keahlian tertentu, seperti pintar menggambar, berhitung atau matematika, musik, dan lain-lain.? ?
Penyebab autis sejauh ini belum diketahui dengan pasti, namun diduga kuat berkaitan dengan faktor keturunan, khususnya hubungan antara ibu dan janin selama masa kehamilan.
Terapi yang tepat untuk anak autis sangat bersifat individual. Untuk itu dibutuhkan seorang yang ahli dalam terapi autis untuk mengenali dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh sang anak agar dapat tumbuh berkembang secara baik. Salah satu terapi yang digunakan adalah dengan meningkatkan kemampuan untuk berbagi (sharing) sehingga dapat mendorong mereka untuk lebih berinteraksi dengan lingkungannya.
Jika terjadi kelainan perilaku pada anak, sebaiknya langsung dikonsultasikan ke dokter. Hal tersebut bertujuan agar dokter secepatnya dapat memberikan tindakan pengobatan atau latihan khusus sejak dini terhadap anak yang mengalami keadaan tersebut.

Kebanyakan orangtua mengetahui gejala-gejala karakter yang berbeda terhadap anak-anaknya pada usia anak 1 sampai 3 tahun.


Pada kasus-kasus tertentu ada beberapa orangtua yang dapat mengenai gejala tersebut lebih dini pada masa pertumbuhan bayi/anak.

Gejala-gejala seperti misalnya bayi tidak menangis bila ditinggal sendirian, menunjukkan kegelisahan yang sangat bila berhadapan dengan orang asing bagi dirinya, berceloteh sendiran, menggunakan bahasa isyarat seperti misalnya bertepuk tangan, menunjukkan tangan, sangat menikmati permainan dan asyik bermain sendirian—semua tanda yang menyerupai karakteristik bayi.

Tidak ada satu orangtuapun yang dapat mengenali bayi mereka akan terjadinya gejala Autis pada bayi mereka, karena bagi para orangtua bayi mereka merupakan malaikat kecil. Tetapi dari beberapa pakar Kesehatan terlebih khusus terhadap Kesehatan Mental memberikan beberapa informasi bagaimana cara mengenali bayi dengan indikasi dini yang dapat dijadikan sebagai petunjuk gejala Bayi Autis;
• tidak berceloteh, menunjuk, atau melakukan bahasa isyarat pada masa usia 1 tahun
• tidak dapat bicara satu katapun sampai dengan masa usia 7 bulan
• tidak dapat mengkombinasikan 2 kata dalam masa usia 2 tahun
• tidak menanggapi bila namanya dipanggil
• tidak bisa berkomunikasi dan beradaptasi
• selalu menghindari kontak mata
• tidak mengetahui cara menggunakan mainan anak-anak
• menyusun mainan atau objek lainnya dalam satu susunan secara berlebihan
• terpaku hanya pada satu mainan atau objek
• tidak pernah tersenyum
• terkadang melakukan tindakan merusak

Autisme Masa kanak ( Childhood Autism )

Autisme Masa Kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun. Perkembangan yang terganggu adalah dalam bidang :
1. Komunikasi : kualitas komunikasinya yang tidak normal, seperti ditunjukkan dibawah ini :
• Perkembangan bicaranya terlambat, atau samasekali tidak berkembang.
• Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara.
• Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan dua arah yang baik.
• Bahasa yang tidak lazim yang diulang-ulang atau stereotipik.
• Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif, biasanya permainannya kurang variatif.
2. Interaksi sosial : adanya gangguan dalam kualitas interaksi social :
• Kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan ekspresi fasial, maupun postur dan gerak tubuh, untuk berinteraksi secara layak.
• Kegagalan untuk membina hubungan sosial dengan teman sebaya, dimana mereka bisa berbagi emosi, aktivitas, dan interes bersama.
• Ketidak mampuan untuk berempati, untuk membaca emosi orang lain.
• Ketidak mampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
3. Perilaku : aktivitas, perilaku dan interesnya sangat terbatas, diulang-ulang dan
stereotipik seperti dibawah ini :
• Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk dipojok sambil menghamburkan pasir seperti air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.
• Adanya suatu kelekatan pada suatu rutin atau ritual yang tidak berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi, pakai piyama, menggosokkan kaki dikeset, baru naik ketempat tidur. Bila ada satu diatas yang terlewat atau terbalik urutannya, maka ia akan sangat terganggu dan nangis teriak-teriak minta diulang.
• Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti misalnya mengepak-ngepak lengan, menggerak-gerakan jari dengan cara tertentu dan mengetok-ngetokkan sesuatu.
• Adanya preokupasi dengan bagian benda/mainan tertentu yang tak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan bentuk dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya, suara-suara tertentu.
Anak-anak ini sering juga menunjukkan emosi yang tak wajar, temper tantrum (ngamuk tak terkendali), tertawa dan menangis tanpa sebab, ada juga rasa takut yang tak wajar.
Kecuali gangguan emosi sering pula anak-anak ini menunjukkan gangguan sensoris, seperti adanya kebutuhan untuk mencium-cium/menggigit-gigit benda, tak suka kalau dipeluk atau dielus.
Autisme Masa Kanak lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3 : 1.

Anak Berkebutuhan Khusus – Jangan Sisihkan Anak-anak “Down Syndrome” Itu…

Wednesday, August 8, 2007
By susuwongi

Meski anak-anak down syndrome memiliki keterbatasan, mereka tetap mampu berprestasi. Karena itu, anak-anak down syndrome perlu perhatian, didampingi, dan jangan disisihkan.

“Semua anak haruslah dianggap sama. Janganlah mereka disisihkan. Sebaiknya mereka pun dibekali keterampilan,” kata Ny Mufidah Jusuf Kalla saat hadir pada acara wisuda lulusan SD, SMP, dan alumni Sekolah Luar Biasa (SLB) Dian Grahita, Jakarta, Senin (6/8).

Menurut suster Joanni, Kepala SLB Dian Grahita, wisuda ini sangat berarti bagi anak-anak down syndrome. “Inilah bukti cinta orangtua dan sekolah kepada anak-anak kami. Mudah- mudahan ini titik awal. Saatnya masyarakat menerima dan mencintai anak-anak kami,” katanya.

Down syndrome disebabkan adanya gangguan pada kromosom yang ke-21. Manusia memiliki 23 pasang kromosom. Pada anak down syndrome, kromosom mereka yang ke-21 tidak sepasang (dua), melainkan tiga kromosom (trisomi). Dengan kata lain, down syndrome adalah gangguan genetik.

Pada wisuda hari Senin lalu, ada 30 anak yang diwisuda. Tujuh anak adalah lulusan SD, 11 lulusan SMP, dan 12 anak adalah alumnus SLB Dian Grahita. Mengenakan jubah dan toga berwarna ungu, mereka sangat antusias mengikuti acara wisuda yang dimeriahkan tari-tarian dari rekan-rekan mereka.

Menurut Ketua Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI) Aryanti Rosihan Yacub, setelah tamat sekolah, anak-anak pada umumnya akan mengejar masa depan. Akan tetapi, para orangtua anak-anak down syndrome justru mengalami ketakutan bagaimana masa depan anak-anak mereka karena keterbatasannya.

“Karena itu ada ISDI, agar kehidupan mereka berguna dan berarti. Ada banyak rintangan dan cucuran air mata. Asuransi kesehatan pun menolak mereka karena takut rugi. Tetapi, dengan keterbatasan mereka, anak-anak ini sebetulnya juga dapat berprestasi mengangkat nama bangsa dan negara di dunia internasional,” kata Aryanti.

Kimberly, yang baru saja lulus SD (biasa dipanggil Kim Kim) pada SLB Dian Grahita, misalnya. Walaupun untuk berjalan saja Kim Kim mengalami kesulitan, tetapi begitu “nyemplung” ke kolam renang, ia bak ikat pesut yang bergerak cepat.

Michael Rosihan Yacub, yang lulus SMP, telah berpraktik kerja di British International School. Ia pun mampu mandiri. Robby Eko Raharja yang juga lulus SMP, selain lincah memainkan keyboard juga menang terus dalam acara-acara pekan olahraga.

Alumni SLB Dian Grahita, seperti Adrian Raharja, pun pernah menjadi juara I renang Porcaba 2005, mendapatkan medali perak Bocce di Taipei (Taiwan), juara I Bocce Porcaba 2007.

Tak semua anak down syndrome menyusahkan keluarganya. Seperti Marisa (16), siswa SMA Triasih di Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Ia bisa mandiri dan sangat senang menari.

Betapa pun anak-anak, down syndrome ada di sekeliling kita. Adalah kewajiban kita untuk membekali mereka dengan keterampilan guna menghadapi masa depan…. (LOK)

Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0708/08/humaniora/3749099.htm, Rabu, 08 Agustus 2007

Solusi Jalan Lebih Dini Pada Bayi Down Syndrome

Sebuah penelitian baru memberikan harapan bagi bayi yang menderita down syndrome untuk bisa berjalan lebih cepat. Down syndrome adalah kondisi yang disebabkan oleh kelainan genetik dan berakibat pada proses tumbuh kembang si bayi yang menjadi lebih lambat dan sering mengarah pada keterbelakangan mental. Hal ini juga berakibat pada proses belajar jalan yang baru bisa mereka lakukan pada usia 24-28 bulan, setahun lebih lama dibanding anak-anak yang normal.

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Michigan di Chicago mengungkapkan dengan training treadmill, bayi penderita down syndrome dapat berjalan lebih cepat dibanding jika mereka hanya melakukan terapi standar. Penelitian melibatkan 30 bayi penderita down syndrome. Orangtua si bayi diminta untuk membantu anak mereka untuk berjalan di treadmill selama 8 menit perhari selama 5 hari dalam seminggu secara rutin.

Para bayi ditempatkan pada sebuah dudukan yang digantung pada mesin treadmill untuk menyangga si bayi. Sementera itu sabuk treadmill akan merangsang mereka untuk melangkah ketika mesin treadmill dinyalakan. Intensitas dan kecepatan dari training treadmill akan dinaikkan secara bertahap ketika para bayi ini telah menambah kecepatan langkah mereka 10, 20, 30 langkah per menit. Hasilnya, para bayi yang menggabungkan terapi fisik dan juga training treadmill, dapat berjalan lebih cepat 4-5 bulan lebih dini dibanding dengan bayi penderita down syndrome yang hanya melakukan terapi fisik saja.

Menurut Profesor Dale Ulrich, Divisi Kinesiology dari Universitas Michigan sekaligus ketua penelitian ini, dengan membantu bayi penderita down syndrome berjalan lebih cepat, hal ini dapat meningkatkan perkembangan kemampuan sosial, kemampuan motorik, daya tangkap dan kemampuan kognitif mereka.

"Kuncinya adalah jika kita dapat membuat mereka berjalan lebih cepat, maka mereka juga akan lebih baik dan lebih dini untuk bisa mengenali lingkungan sekitar mereka. Ketika Anda sudah mulai belajar untuk mengenali lingkungan, Anda akan belajar tentang dunia sekitar Anda," ujar Ulrich. "Maka, proses berjalan menjadi faktor penting yang mempengaruhi setiap fase tumbuh kembang seorang anak," kata Prof. Dale menambahkan.

Hati-hati gejala down syndrome pada anak kita

Makna Down Sindrom sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi kita. Sering kali makna tsb menjadi bahan diskusi hangat, topik pembicaraan pagi bersama kopi panas, atau sekedar obrolan di warung kopi. Tapi intinya masyarakat kita sudah terbiasa berinteraksi dengan Down Syndrom society n’ side others..

Bila kita melongok kedalam kelas di salah satu SLB (Sekolah Luar Biasa) kita akan menjumpai anak-anak yang mengalami down sindrom. Demikian pula jika kita berada pada ruangan praktek terapi akunktur, terapi herbalis modern ataupun klinik tumbuh kembang anak. Anak-anak itu seperti masyarakat pada umumnya jika berada pada komunitas mereka sendiri. Bermain, tertawa riang, bercanda, bersenda gurau dan saling berkomunikasi (dengan bahasa dan gerak tubuh yang ‘khas’ mereka)..

Barangkali kita lebih mengenal kata AUTHYS ketimbang down sindrom, tetapi sebenarnya relatif sama. Hanya jika penderita authys lebih cenderung complex dan spesifik. Ada penderita autis yang relatif lambat perkembangan otak/mental dan pisiknya dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Ada juga penderita autis yang justru lebih aktif (hyperactive) dan cenderung ingin lebih ketimbang anak-anak yang lain..

Jika kita berada diantara saudara-saudara kita yang menderita down sindrom, perasaan dan hati kita akan dipermainkan oleh suasana sedih, miris, terkadang kita tertawa namun dilain kesempatan kita akan merenung. sedih melihat betapa ujian dan cobaan Allah telah dating kepada mereka di usia mereka yang masih sangat belia tanpa mereka sendiri merasakan bahwa mereka mengalami kekurangan/kelambatan perkembangan. Betapa mereka butuh perhatian dan keikhlasan kita untuk berbagi, bergaul dan tanpa ada perasaan untuk mengucilkan. Tapi kita akan sedikit tertawa jika melihat aktifitas dan pergerakan mereka yang terkadang lucu dan riang, namun tiba-tiba kita juga akan merenung menerawang keadaan dan masa depan mereka di masa yang berbeda dengan saat ini..

Ibu Aryati, orang tua yang kebetulan anaknya menderita down sindrom, menuturkan bahwa awalnya dia begitu sedih, miris dan berkeinginan untuk tidak menerima kehadiran sang anak, sebelum anak itu dilahirkan. Tetapi setelah berulang kali berfikir kemudian dia justru menyebutkan bahwa ‘ini semua adalah karunia Allah SWT. Kesempatan ini merupakan momenum untuk berbuat dan mencurahkan perhatian untuk keluarga/anak’. Lalu Bu Aryati mengundurkan diri dari pekerjaannya agar dapat memiliki waktu cukup untuk dekat dengan keluarga/anak-anaknya..

Beliau kemudian mendirikan organisasi bagi para orang tua yang anaknya menderita Down Sindrom, untuk dapat saling berbagi, bercerita dan bertukar pengalaman, dengan nama POTADS (Persatuan Orang Tua Anak Down Sindrom). Dan merelakan rumahnya dibilangan Ciputat menjadi secretariat organisasi tsb..

Secara Umum, cirri-ciri penderita Down Sindrom, adalah (antara lain) :

1. Ciri Pisik ; Wajah cenderung simetris, mulut agak terbuka dan lidah terlihat lebih tebal

2. Ciri Mental ; Lebih lambat dalam beraktifitas dan menerima respon dari lawan bicara.

Jika ada pembaca, warga kompasiana atau keluarga/kerabat/tetangga yang memiliki anak yang menderita down sindrom, mungkin ada baiknya berinteraksi serta menggabungkan diri dengan POTADS. Dengan bergabung pada orang-orang yang memiliki kesamaan perjuangan, relatif lebih mendapat value added, setidaknya dalam hal mendidik anak, mengupayakan agar sang anak dapat mensejajarkan diri dengan anak-anak lainnya..

Salam ukhuwah

elha 16.04.2007

www.jangankedip.blogspot.com

mnangani autis pada anak

UTISME atau disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD), hingga kini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Meski demikian, saat ini sudah ada beberapa langkah tepat untuk penderita autis agar dapat memiliki kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara.

Anak yang menderita autis sebenarnya dapat diketahui sejak usia dini. Karena umumnya gangguan ini muncul sebelum anak berusia tiga tahun. Hanya kebanyakan orangtua kurang aware dengan gejala yang timbul pada anaknya hingga usia empat tahun.

Padahal pada usia tersebut, anak sudah larut dengan dunianya sendiri sehingga tidak bisa berkomunikasi dan berinterkasi dengan teman-teman dan lingkungannya. Ketika kondisi tersebut terlambat diketahui, maka langkah utama yang harus dilakukan ialah memfokuskan kelebihan anak di bidang tertentu yang dikuasainya.

Nah, kunci sukses untuk membantu para orangtua atau keluarga agar penderita autis dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, maka seluruh anggota keluarga harus turut langsung membantu para penderita ini berusaha melakukan hal itu.

Menurut dr Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K), pakar autis indonesia, beberapa keganjalan yang sering dilakukan oleh penderita autis dapat dibantu dengan melakukan empat macam terapi. Saat ini sudah terdapat beberapa terapi bagi penderita autis, baik itu terapi perilaku - ABA, terapi sensori integrasi, terapi okupasi, terapi wicara maupun terapi tambahan seperti terapi musik, AIT, Dolphin Assisted Therapy.

"Terapi perilaku - ABA merupakan terapi gentak untuk memperbaiki perilaku anak autis yang sering menyimpang. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah bersuara keras saat memberikan perintah pada anak. Kalau anak tidak mau melakukan apa yang diperintahkan, maka harus mengagetkan mereka," kata dr Irawan dalam seminar yang diselenggarakan di Kantor Pusat Sun Hope Indonesia, belum lama ini.

Terapi sensori integrasi, sambungnya, khusus ditujukan pada fungsi biologis otak. Sehingga otak melakukan segala sesuatu dengan benar. Sementara itu, terapi okupasi dilakukan untuk memperbaiki aktivitas penderita autis. Selain itu ada juga terapi wicara yang dilakukan untuk membantu penderita autis yang mengalami gangguan bicara agar bisa berbicara kembali.

Ternyata agar anak autis dapat kembali di tengah-tengah keluarganya, tak hanya langkah terapi saja yang dilakukan. Pemberian nutrisi tepat bagi penyandang autis juga harus diperhatikan. Karena pada beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami autisme ternyata juga alergi terhadap makanan tertentu.

Menurut ahli gizi Sun Hope Indonesia, Fatimah Syarief, AMG, StiP, orang tua perlu memerhatikan beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari seperti makanan yang mengandung gluten (tepung terigu), permen, sirip, dan makanan siap saji yang mengandung pengawet, serta bahan tambahan makanan.

"Penderita autis umumnya mengalami masalah pencernaan terutama makanan yang mengandung casein (protein susu) dan gluten (protein tepung)," kata Fatimah saat dihubungi okezone melalui telepon genggamnya, Rabu (30/4/2008).

Selain asupan makanan yang tepat, suplementasi pun perlu diberikan pada pasien autis mengingat adanya gangguan metabolisme penyerapan zat gizi (lactose intolerance) dan gangguan cerna yang diakibatkan karena konsumsi antibiotik dengan pemberian sinbiotic (kombinasi Sun Hope probiotik dan enzymes sebagai prebiotik).

"Meski suplemen penting diberikan pada penderita autis, hal yang paling tepat dilakukan adalah memberikan pengaturan nutrisi yang tepat. Ketika makanan tidak tepat masuk ke dalam tubuh, maka akan masuk ke usus halus dan tidak tercerna dengan baik. Akhirnya makanan tersebut keluar melalui urin, karena material tersebut sifatnya toxic (racun) sehingga terserap ke otak. Hal tersebut menyebabkan anak autis semakin hiperaktif," jelasnya panjang lebar.

Tak hanya itu saja, untuk membantu mengurangi gejala hiperaktif dan membantu meningkatkan konsentrasi dan perbaikan perilaku, suplementasi omega 3 yang terdapat pada Sun Hope Deep Sea dapat dijadikan alternatif.(nsa)

mendeteksi gejala autis pada anak

Anak perempuan itu menolak tatapan mata saya dan langsung melihat ke arah lain. Ekspresi mukanya datar dan mulutnya berkomat-kamit mengeluarkan kata-kata yang tidak beraturan. "Ya Tuhan,"saya berdoa dalam hati saya,"Mengapa anak semanis ini harus mengalami autis?"

Bekerja sebagai seorang psikolog klinis anak, saya harus membiasakan diri menegakkan suatu diagnosa yang sebenarnya saya sendiri enggan melakukannya. Oh ya, saya sangat senang ketika mengabarkan kepada orang tua bahwa anak mereka memiliki IQ sebesar 150. Hal yang berbeda terjadi saat saya harus menyampaikan kabar bahwa anak mereka mengalami autisme. Dipandang dari sudut profesionalitas, mungkin orang-orang akan mengkritik saya sebagai seorang psikolog yang terlalu melibatkan perasaan dalam pemeriksaan terhadap pasien-pasien cilik di klinik tumbuh kembang anak tempat saya bekerja. Bagaimanapun, tidak mudah menghadapi reaksi orang tua yang terkejut, menangis, bahkan tidak mau menerima kondisi anaknya yang didiagnosa mengalami autis.

Saat ini gangguan autisme yang dikenal dengan nama Autistic Spectrum Disorder (ASD) telah merebak menjadi sebuah epidemi di banyak negara. Sebuah organisasi yang bergerak di bidang penanganan Autis di Amerika membuat pernyataan yang mengagetkan bahwa 1 dari 150 anak terdiagnosa autis. Ini adalah data yang fantastis sekaligus memprihatinkan semua pihak. Di Indonesia sendiri, data terakhir yang diperoleh adalah dari tahun 2004 yang mencatat sebanyak 475.000 anak didiagnosa mengalami autis.

Hampir semua orang mempertanyakan apa yang menjadi penyebab gangguan perkembangan yang menyebabkan seorang anak tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia seolah-olah terisolasi dari dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah 'autis' sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'didalam diri sendiri'. Gangguan ini mulai dideteksi oleh Leo Kanner pada tahun 1943 dan sampai saat ini penelitian mengenai penyebab dan cara menanganinya masih terus berlanjut.

Misteri yang Belum Terpecahkan

"Bagaimana mungkin anak saya autis? Apa penyebabnya, bu? Apakah semua ini salah saya?" pertanyaan ini sangat sering dilontarkan orang tua kepada saya. Menenangkan orang tua yang mengalami shock merupakan kewajiban saya sebagai seorang profesional. "Ibu tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Sampai saat ini penyebab autis masih menjadi tanda tanya besar." Bukannya bermaksud memberikan sekedar 'angin surga' kepada orang tua namun pada faktanya memang sampai saat ini belum ada satu hasil penelitianpun yang secara tegas menyimpulkan penyebab tunggal dari gangguan yang mengerikan ini.

Diperkirakan salah satu penyebab autis adalah faktor genetik, hal ini terbukti dari lebih besarnya jumlah penyandang autis pria dibanding wanita. Selain itu, perkiraan lain mengatakan bahwa autis disebabkan oleh keracunan logam berat. Hal ini mungkin terjadi karena ibu makan sea food yang sudah tercemar logam berat atau melakukan tambal gigi yang mengandung amalgam. Seorang dokter yang mendalami bidang autis pernah mengemukakan dalam seminar bahwa sebaiknya saat mengandung ibu-ibu tidak menggunakan make up sama sekali.

Hal ini adalah untuk menghindari kemungkinan terpaparnya janin dalam kandungan terhadap merkuri yang mungkin terdapat dalam kosmetik yang digunakan. Ada pula yang memperkirakan bahwa banyaknya jenis vaksinasi yang diterima oleh bayi menyebabkan masuknya merkuri dalam jumlah besar ke dalam tubuh anak pada usia terlalu dini. Hal ini disebabkan karena sebagian besar vaksin yang digunakan menggunakan thimerosal (etil merkuri) sebagai bahan pengawetnya. Akibatnya, untuk anak-anak yang rentan kemungkinan akan memperlihatkan gejala autis yang disebabkan karena keracunan logam berat.

Kenalilah Gejala Autis Sedini Mungkin!

Sangatlah penting bagi orang tua untuk mengenali gejala yang ada pada gangguan ini. You are your child's first doctor. Karakteristik seorang anak yang mengalami autis ditandai dengan 3 hal. Pertama, anak tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia cenderung menolak menatap mata lawan bicaranya dan memilih melihat ke arah lain saat diajak berbicara. Saat merasa senang atau sedih, ekspresi mukanya tetap datar dan tidak mengalami perubahan. Biasanya orang tua merasa frustasi karena anak mereka tidak bisa diajak bermain ci luk ba, menolak untuk dipeluk, dan hampir tidak pernah memulai pembicaraan dengan orang tuanya.

Kedua, anak mengalami keterlambatan bicara atau bahkan sama sekali tidak bisa berbicara. Batas usia yang diberikan para ahli untuk mentoleransi seorang anak mengucapkan kata pertamanya adalah 18 bulan. Pada perkembangannya di usia 2 tahun anak minimal dapat mengucapkan sebuah kalimat yang terdiri dari 2 kata, sesederhana apapun itu. Pada anak yang mengalami autis, sekalipun ia dapat berbicara, biasanya kata-katanya tidak jelas (sering dikenal dengan istilah bahasa planet) atau tidak sesuai dengan konteks pembicaraan.

Ketiga, anak tampak sering melakukan rutinitas yang berulang atau sangat menyukai benda tertentu secara berlebihan. Hellen (bukan nama sebenarnya), menjerit-jerit saat ibu tidak menghidangkan sarapan paginya menggunakan piring merah muda dengan pola bunga-bunga di sekeliling piringnya. Ia juga tidak mau makan saat posisi piring, garpu, dan sendok tidak tertata secara simetris seperti biasanya. Selain memiliki pola rutinitas yang sangat kaku, anak yang mengalami autis biasanya bermain secara aneh terus menerus.

Kasus yang sering dijumpai adalah mereka senang sekali memutar roda mobil-mobilannya dalam waktu yang lama, berjam-jam melihat kipas angin yang berputar, atau menyusun mainannya dalam pola yang berulang. Ada pula anak yang sangat senang benda yang berwarna hijau dan terus menerus merengek agar ia dapat memegang sebuah stabilo hijau selama menjalani terapi.

Gejala yang paling mudah dikenali dari autisme adalah minimnya kontak mata anak terhadap lawan bicaranya. Gejala lain yang juga mudah dikenali adalah apabila anak mengalami keterlambatan bicara. Bagaimanapun, untuk gejala yang kedua ini, orang tua perlu berhati-hati. Tidak semua anak yang terlambat bicara pasti mengalami autis, namun terlambat bicara merupakan salah satu karakteristik autis.

Apa yang Harus Saya Lakukan?

Langkah pertama yang perlu ditempuh orang tua apabila mencurigai anaknya mengalami autis adalah dengan membawa anak tersebut pada ahli. Diagnosa autis dapat ditegakkan oleh seorang psikolog atau dokter melalui pemeriksaan yang terstandarisasi. Apabila anak mengalami autis, umumnya psikolog atau dokter akan menganjurkan orang tua untuk mengikutkan anak dalam terapi. Jenis dan jumlah jam terapi biasanya tergantung pada seberapa berat gangguan autis yang dialami anak. Umumnya jenis terapi yang perlu diikuti adalah terapi sensori intrgrasi, perilaku, dan wicara. Tidak sedikit pula anak yang perlu menjalani farmakoterapi, yaitu pemberian obat tertentu oleh dokter. Pastikan tempat terapi memiliki program dan sistem evaluasi yang baik untuk memantau kemajuan anak.

Selain terapi, anak yang mengalami autis juga perlu menjalani diet. Diet yang tepat akan 'mempersiapkan' tubuh anak menerima materi terapi. Tanpa diet, terapi yang dilakukan akan menjadi kurang efektif. Umumnya, diet yang harus dijalani adalah dengan menghindari makanan yang mengandung kasein dan gluten. Hal ini termasuk salah satu tugas terberat orang tua. Karena tidaklah mudah menahan anak mengkonsumsi makanan yang mengandung kasein seperti susu, mentega, es krim, coklat, dan yogurt. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja sulit menahan dirinya untuk tidak mengkonsumsi coklat. Belum lagi makanan yang mengandung gluten yang umumnya terdapat dalam tepung terigu. Makanan seperti roti, biskuit, mi, makaroni, spagheti, dan segala sesuatu yang berasal dari terigu wajib dihindari. Bagaimanapun tidak semua anak yang terdiagnosa autis harus menghindari semua jenis makanan tersebut. Untuk mengetahui secara spesifik jenis makanan apa yang harus dihindari anak, dapat diadakan tes alergi.

Dalam melakukan penanganan, orang tua perlu bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait dengan anak, seperti: psikolog, dokter, terapis, guru, dan seluruh anggota keluarga. Bahkan, sangatlah penting untuk melatih pengasuh anak agar ikut melatih anak di rumah.

penyebab autisme pada anak

KASUS penyakit autis saat ini semakin banyak terjadi di dunia, termasuk di Indonesia. Saat ini penyakit autis sudah dapat dideteksi sejak usia dini. Meski demikian, pengetahuan awam mengenai autis dan bagaimana menanganinya masih belum diketahui luas.

Autisme adalah suatu gangguan yang ditandai oleh melemahnya kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara. Autisme sering disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD).

Nah, untuk mengetahui apakah anak Anda mengidap autis, maka penting untuk mengetahui mulai dari gejala, tindakan kuratif (penyembuhan) hingga tindakan preventif (pencegahan), serta makanan apa yang baik dan tidak baik dikonsumsi oleh penderita autisme.

Sejalan dengan bulan "Autis Awareness", Sun Hope menggelar seminar kesehatan dengan mengambil tema "Autiskah Anakku?". Dalam seminar yang diselenggarakan di Kantor Pusat Sun Hope Indonesia ini, menghadirkan pembicara dr Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K), dan bintang tamu artis Diah Permatasari.

Dalam seminar yang baru diadakan belum lama ini, dr Irawan memberikan pemahaman kepada para peserta seminar lebih jauh mengenai penyakit autis. "Penyakit autis memiliki gejala-gejala yang kemudian dapat membantu diagnosis dokter yang dapat dilihat dari perilaku para penderitanya," paparnya.

Menurut dr Irawan, anak autis memiliki gangguan komunikasi yang lemah. Artinya, tidak bisa berbicara atau memiliki keterlambatan bicara pada usia seharusnya. Kadang kesalahan yang terjadi diakibatkan kurang tahunya orangtua akan penyakit ini. Sehingga menganggap biasa anak yang telat bicara.

"Bila anak Anda mengalamai ciri tersebut, maka sebaiknya cepat konsultasikan pada dokter," sarannya.

Ciri lain yang dapat dilihat ialah anak memiliki gangguan interaksi sosial. Dengan kondisi demikian, anak sulit untuk diajak berkomunikasi. Tak hanya itu saja, lanjutnya, anak autis juga memiliki gangguan perilaku.

"Ciri khas lainnya dari gejala autis ialah anak sering melakukan kegiatan yang berulang. Seperti mukul-mukul sendiri atau suka memutar diri sendiri yang dilakukan berulang kali," terangnya.

Mengenai cara penanganan penyandang autis, ahli gizi Sun Hope Indonesia, Fatimah Syarief, AMG, StiP menuturkan untuk memberikan nutrisi tepat.

"Pada beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami autisme ternyata juga alergi terhadap makanan tertentu. Penderita autis umumnya mengalami masalah pencernaan, terutama makanan yang mengandung casein (protein susu) dan gluten (protein tepung)," jelas Fatimah.

Karena kedua jenis protein tersebut sulit dicerna, maka akan menimbulkan gangguan fungsi otak apabila mengonsumsi kedua jenis protein ini. Sehingga perilaku penderita autis akan menjadi lebih hiperaktif.

Menurutnya, suplemen yang baik diperlukan penderita autis yang biasanya mengalami lactose intolerance (ketidakmampuan pencernaan untuk mencerna laktosa). Salah satu suplemen yang baik diberikan bagi penderita autis adalah sinbiotik.

"Sinbiotik yaitu gabungan probiotik dan prebiotik. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang dimakan untuk memperbaiki secara menguntungkan keseimbangan mikroflora usus," kata dia.

Anak autis, sambungnya, memerlukan vitamin C sebagai antioksidan. Adapun sumber terbaik yang dapat diberikan pada anak dengan kasus ini dapat berasal dari sayuran dan buah-buahan. Meski demikian, sebaiknya pilih sayuran dan buah-buahan yang tidak mengandung pengawet.

Ditambahkan Fatimah, beberapa spesies yang biasa digunakan antara lain mengandung Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus casei, Bifidobacterium bifidum, Bifidobacterium infantis, Bifidobacterium longum, dan Streptococcus lactis. Sementara itu, prebiotik adalah substansi makanan yang dapat meningkatkan beberapa bakteri usus yang menguntungkan bagi kesehatan.